Minggu, 03 Februari 2008

Presiden Hadiri Harlah NU


Sekitar 200 ribu massa Nahdhatul Ulama dari berbagai provinsi, Ahad (3/2) pagi, mengikuti puncak acara hari lahir (harlah) ke-82 NU di Gelanggang Olahraga Bung Karno, Senayan, Jakarta Pusat. Acara yang berlangsung sejak pukul 08.00 WIB hingga pukul 14.00 WIB ini dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wakil Presiden Jusuf Kalla, serta sejumlah menteri. Namun, mantan Ketua Umum Pengurus Besar NU Abdurrahman Wahid dan mantan Presiden Megawati Sukarnoputri tidak hadir.


Membludaknya nahdiyin, sebutan warga NU, rupanya kurang diantisipasi pihak panitia. Akibatnya, banyak peserta harlah yang terpaksa keluar stadion karena tidak kebagian tempat. Peringatan harlah tersebut dijadikan momentum bagi NU untuk memperkuat kualitas seluruh massa NU. Pasalnya, massa NU selama ini dinilai belum optimal dalam pemberdayaan bangsa. Padahal, NU merupakan organisasi massa terbesar di Indonesia.


Pada kesempatan itu, Ketua Umum PB NU Hasyim Muzadi meminta pemerintah bersikap adil agar bencana tidak terus melanda Tanah Air. Sementara itu, Presiden Yudhoyono dalam pidatonya menyampaikan terima kasih atas upaya NU yang terus memperkokoh persatuan dan kesatuan di Indonesia.(RMA/Bimo Cahyo dan Dwi Firmansyah)


sumber: liputan6.com

untuk melihat video rekamannya silakan klik: http://www.liputan6.com/news/?id=154376&c_id=3


Komentar Masa Fm:

Allahuakbar.... meski tidak mencapai target 300 ribu, puncak hari lahir NU yang ke 82 membawa angin segar untuk kebangkitan Islam. Setidaknya, seruan moral untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan menjadi keinginan lebih dari 200ribu orang. Kita berharap, besarnya nama NU akan menjadi pengaruh yang signifikan dalam membangkitan bangsa Indonesia dari keterpurukan...

Wapres: NU Tak Pernah Keluar Khittah


Jakarta,
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, Nahdlatul Ulama (NU) tak pernah keluar dari Khittah(landasan dasar)-nya sebagai organisasi kemasyarakatan dan keagamaan. Menurutnya, dari dulu hingga sekarang, NU tetap menjadi ormas Islam yang bergerak di bidang dakwah, pendidikan dan pemberdayaan masyarakat.

“Saya pikir, yang lebih tepat, NU tetap pada Khittah-nya. Karena, NU, para kiai, masih mengurus ratusan ribu pendidikan pondok pesantren, masih mengurusi umat,” terang Wapres Kalla dalam sambutannya saat menerima ratusan ulama dan kiai NU di Kantor Wapres, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Sabtu (2/2) malam.

Jika ada warga NU yang mengurusi aktif di politik praktis, tambahnya, hal itu tidak menjadi masalah. Demikian juga bila ada orang NU yang aktif di bidang ekonomi, sosial dan sebagainya, merupakan hal yang wajar. "Yang penting tugas pokoknya mengurusi agama, kemasyaraatan, dan pendidikan tidak terabaikan," jelasnya.

Menurut Wapres Kalla, warga NU seharusnya dapat membagi tugas untuk mengurus pesantren, politik, ekonomi, pendidikan, dan kemasyarakatan. "Kalau semua mengurus pesantren, lalu siapa yang mengurus politik. Harus ada harmonisasi. Diatur komposisinya," ujarnya.Hal yang lebih penting lagi, lanjutnya, warga NU harus mandiri dan tidak tergantung pemerintah. "Contohnya, pesantren-pesantren yang berdiri, kan karena disokong infaq, sodaqoh, dan zakat masyarakat. Bukan bantuan pemerintah," pungkasnya.

Sebelumnya, dalam kesempatan yang sama, Ketua Pengurus Besar NU KH Said Aqil Siroj, menjelaskan, acara silaturrahim antara para kiai dan ulama dengan Wapres Kalla itu merupakan bagian dari rangkaian puncak peringatan Hari Lahir (Harlah) ke-82 NU yang digelar di Gelora Bung Karno, Jakarta, Ahad (3/2).

Puncak peringatan Harlah sendiri, jelasnya, merupakan upaya mempertegas kembali Khittah NU 1926. “Kita ingin mempertegas bahwa NU kembali pada Khittah-nya, Khittah 1926 bahwa NU merupakan organisasi keagamaan, pendidikan dan kemasyarakatan. Non politik (tidak berpolitik praktis),” terangnya. (rif)

sumber: http://www.nu.or.id/page.php

Komentar Masa Fm:
Beberapa waktu yang lalu di Banjarbaru, ketika ada talkshow mengenai persatuan ummat Muhammad al Khaththath (DPP Hizbut Tahrir Indonesia) sempat berkelakar. Bahwa NU, Muhammadiyah dan Hizbut Tahrir sebenarnya bisa berbagi tugas. NU mengurusi pembinaan dan tarbiyah ummat, Muhamadiyah mengurusi Ekonomi (waktu itu pembicara dari Muhammadiyah adalah Anwar Abbas -ekonom dari muhammadiyah-), dan Hizbut Tahrir mengurusi politiknya.
Secara itu, kemudian kami berkesimpulan. Bahwa setiap elemen penting dalam ummat berupa organisasi-organisasi besar mestinya harus bekerjasama. Saling mengisi ruang kosong masing-masing organisasi. Intinya, setiap sisi dari permasalahan ummat akan bisa terpecahkan. Insya Allah...
Apalagi, jika latar belakang lahirnya NU adalah karena Konferensi Pasca runtuhnya Khilafah pada tahun 1924. Yang di masa dulu hanya dihadiri dari kalangan Muhammadiyah. Kalau Hizbut Tahrir menginginkan Khilafah, NU menginginkan Khilafah, dan Muhammadiyahpun menginginkan Khilafah, Subhanallah.... mari bersatulah menegakkan Khilafah. Allahuakbar...!!!
(sejarah singkat NU: Keterbelakangan, baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan Kebangkitan Nasional. Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana--setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain, sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisai pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon Kebangkitan Nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) 1916. Kemudian tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (Pergerakan Kaum Sudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab wahabi di Mekah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra-Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bi'dah. Gagasan kaum wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.
Sikapnya yang berbeda, kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925, akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional-Yang waktu itu juga disebabkan karena runtuhnya Khilafah pada tahun 1924-peny) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebsan bermadzhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat ini di Mekah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.
Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari sebagi Rais Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka KH. Hasyim Asy'ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU , yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.) http://www.nu.or.id/page.php
)